PEDIANUSANTARA.com – Menikah (Marry:تَزَوَّجَ) merupakan salah satu sunnah Rasulullah ﷺ yang sangat dianjurkan bagi umat Islam. Menikah bukan hanya sekadar memenuhi hasrat biologis, tetapi juga merupakan ibadah dan sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Namun, kapan sebenarnya waktu yang tepat untuk menikah? Apakah ada usia ideal untuk menikah?
Pertanyaan-pertanyaan ini mungkin sering muncul di benak para pemuda dan pemudi yang ingin menikah. Untuk menjawabnya, kita bisa mengambil pelajaran dari salah satu ulama besar dan kharismatik di Indonesia, yaitu Habib Muhammad Luthfi bin Ali bin Yahya atau yang lebih dikenal dengan Habib Luthfi bin Yahya.
Tentang usia menikah tidak ada batasan tertentu dalam Islam. Hanya saja ada sedikit pembahasan tentang hukum menikahkan anak kecil yang belum baligh. Diperbolehkan bagi seorang ayah atau kakek, menikahkan anak laki-laki yang belum baligh dengan syarat anak tersebut berakal (tidak gila), jika ada kebaikan bagi si anak. Dalam hal ini yang mengucapkan sighat qobul nikah adalah si wali, sebab anak yang belum baligh belum diangap sah akadnya, sehingga perlu diwakili oleh walinya.
Baca Juga: Apakah Perbedaan Usia Penting dalam Pernikahan? Ini Jawabannya!
Di perbolehkan pula bagi seorang ayah menikahkan anak perempuannya yang belum baligh, bahkan masih balita, jika ada kebikan baginya, dan dengan beberapa syarat dalam pernikahan paksa yang akan di jelaskan dalam babnya. Hak menikahkan paksa bagi si ayah ini disebut dengan hak ijbar (memakasa nikah).
Lain halnya, jika yang ditanyakan adalah usia berapa seorang laki-laki pantas menikah? hal ini pernah ditanyakan oleh seorang saat pengajian ramadhon kepada habib M. Luthfi bin Yahya, pekalongan.
“Beliau menjawab, bahwa yang terpenting adalah sudah punya jiwa mandiri dan berani memikul beban menjadi kepala keluarga. Persiapkan juga mata pencarian untuk memenuhi kewajiban menafkahi istri. Wanita itu diibaratkan bunga yang indah. Maka, sudahkah disiapkan vas bunga agar menjadikan bunga terlihat indah?”. Demikian kurang lebih jawaban beliau.
Memang sangat realistis dalam mengarungi bahtera rumah tangga tidak hanya cukup bermodal cinta, tapi, harus ditunjang ekonomi yang baik, minimal cukup, tidak harus kaya. Yang kami pahami dari jawaban beliau diatas ialah seorang suami dituntut untuk punya sikap dewasa dan bertanggung jawab terhadap istrinya, termasuk dalam masalah ekonomi.
Jangan sampai sudah berkeluarga, namun untuk memenuhi nafkah sehari-hari saja masih minta kepada orang tua atau mertua. Buanglah rasa gengsi dan bekerjalah, yang penting halal dan dapat mencukupi kebutuhan keluaraga, meski sementara hanya cukup untuk makan sehari-hari saja.
Adapun bagi kaum wanita, dianjurkan menikah diusia dini yakni diusia subur. Bahkan hal ini termasuk sikap tergesah-gesah yang terpuji. Imam Hatim al-Asham berkata:
العجلة من الشيطان الا في خمسة، فانها من سنة رسول الله صلى الله عليه وسلم : اطعام الضيف وتجهيز الميت وتزويج البكر وقضاء الدين والتوبة من الذنب
Artinya:
Tergesah-gesah itu bersal dari setan, kecuali dalam lima hal, maka sesungguhnya kelima hal ini merupakan suri tauladan dari Rasulallah ﷺ:
1). Memberi jamuan tamu
2). Merawat jenazah
3). Menikahkan perawan
4). Membayar hutang
5). Taubat dari dosa
Wanita yang menikah diusia muda, sangat berpotensi memiliki anak banyak. Rasulullah ﷺ sangat memotivasi kita untuk mempunyai anak banyak. Dan sudah menjadi tanggung jawab orang tua untuk memberi bekal pendidikan, agar kelak ia menjadi istri dan ibu rumah tangga yang baik.
Memang jenjang pendidikan kaum wanita relatif singkat dibanding kaum lelaki sehingga para orang tua diharapkan memberi kesempaatan anak perempuannya yang dalam usia belajar untuk fokus saja belajar, tidak perlu membantu pekerjaan orang tua.
Berlangganan Update Artikel Terbaru di Telegram dan Google Berita.